Bhayangkaraglobalnews.com – Kota Bandung, – Devi Yulianti. Sejak usia 4 tahun, ia mengidap talasemia. Sebuah penyakit kelainan darah bawaan yang ditandai oleh kurangnya protein pembawa oksigen (hemoglobin) dan jumlah sel darah merah dalam tubuh yang kurang dari normal.
Tak pernah terbayangkan olehnya bisa hidup sampai selama ini. Padahal, dulu ia divonis hanya bisa hidup sampai usia 7 tahun. Namun, kini di usianya yang menginjak 46 tahun, ia masih berjuang terus melawan talasemia bersama 600 orang lainnya di Kota Bandung.
Ia bernama Devi Yulianti. Sejak usia 4 tahun, ia mengidap talasemia. Sebuah penyakit kelainan darah bawaan yang ditandai oleh kurangnya protein pembawa oksigen (hemoglobin) dan jumlah sel darah merah dalam tubuh yang kurang dari normal.
Gejala pada anak-anak biasanya terlihat dari tumbuh kembangnya yang tidak normal. Kulitnya pucat, sesak napas, dan fisiknya lemah.
Kini Devi mengambil peran menjadi Ketua Perhimpunan Penyandang Talasemia Indonesia (PPTI) Kota Bandung.
Ia bersama rekan-rekannya rutin membantu para penyandang talasemia untuk mendapatkan transfusi darah dan melakukan sosialisasi kepada masyarakat.
“Banyak yang baru juga terdeteksi talasemia, banyak juga yang sudah meninggalkan kita karena talasemia. Kemarin saja di bulan Mei ada 6 orang yang meninggalkan kita. Penyebabnya mungkin karena zat besinya makin naik dan daya tahan tubuh juga menurun,” ungkap Devi kala ditemui pada kegiatan Hari Donor Darah Sedunia di PMI Kota Bandung, Selasa 14 Juni 2022.
Devi mengatakan, ada yang terkena talasemia di usia dewasa. Ada yang baru ketahuan di usia 42 tahun. Ternyata setelah cek hemoglobin (Hb) itu, baru diketahui dia terkena talasemia mayor dengan Hb 4. Namun, memang kebanyakan terdeteksi sejak usia bayi.
Devi pun membagikan kisah perjuangannya sejak kecil melawan talasemia. Dulu, saat masih usia anak-anak, ia tak hanya melakukan transfusi darah, tapi juga diberikan obat desferal yang disuntikkan 5 kali per minggu.
Desferal merupakan injeksi yang mengandung deferoxamine. Gunanya untuk menangani kelebihan kadar zat besi dalam darah.
“Sekarang desferal sudah tidak ada. Para penyandang talasemia sudah diberikan kemudahan dengan tablet agar tidak terjadi pembengkakan limpa. Saya dulu bisa habis Rp16 juta per bulan,” ujarnya.
Di saat anak lain mengikuti Masa Orientasi Siswa (MOS) ketika masuk SMA, Devi terpaksa dilarikan rumah sakit dan harus diopname.
Bahkan, ia sempat mengalami koma selama sebulan. Berat badannya pun turun drastis dari 48 kg menjadi hanya 18 kg.
Ia pun harus rutin melakukan transfusi darah seminggu sekali dan diinjeksi selama 5 hari dalam seminggu. Namun, kini ia hanya transfusi darah 9 bulan sekali. Bahkan, paling cepat bisa 5 bulan sekali.
“Tapi, setiap bulan saya tetap harus periksa darah dan rutin minum obat,” katanya.
Bagi Devi, kemajuan yang ia alami sekarang tak lepas dari ‘obat’ utama dalam hidupnya, yakni keluarga. Ia tak pernah menyangka bisa memiliki keluarga kecil bersama suami dan kedua anaknya yang sehat.
“Ini semua berkat kuasa Allah dan tentunya support dari keluarga. Support system itu penting sekali. Suami dan anak-anak saya sangat mendukung saya, mereka tidak pernah memperlakukan saya seperti orang sakit,” ujarnya.
“Kalau misalnya gejala thalassemia saya kambuh, suami saya selalu bilang, ‘Ibu hebat! Ibu pasti bisa. Ibu kuat,’ seperti itu,” tuturnya sambil berkaca-kaca.
Setelah dua tahun menikah, ia akhirnya memiliki dua orang anak, pertama berusia 22 tahun yang diterima di TNI AU Makassar. Lalu anak keduanya yang masih berusia 10 tahun.
Bukan perkara mudah bagi Devi untuk mengandung dan melahirkan dua anak. Ia berjuang penuh untuk tetap ‘sehat’, rutin transfusi darai seminggu sekali, terus cek kesehatan, dan minum semua obat yang diberikan dokter.
Ia sangat merasa terbantu dengan peran PMI di masa perjalanan perjuangannya melawan talasemia. Ia juga berharap agar Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung bisa bersama-sama terus menyebarluaskan mengenai talasemia.
“Rantai talasemia ini harus kita putus, salah satunya melalui seminar, terutama bagi mereka yang akan menuju jenjang pernikahan,” harapnya.
Devi menekankan, setiap orang harus melalukan pemeriksaan pranikah secara detail. Sebab, meski keduanya sehat, tapi ternyata bisa jadi mereka carrier atau pembawa talasemia. Sehingga kemungkinan besar anaknya akan mengalami talasemia mayor atau minor.
“Talasemia minor ini bisa transfusi setahun sekali atau 5 bulan sekali. Sedangkan talasemia mayor itu seminggu sekali harus transfusi darah,” imbuhnya.
Devi juga mengungkapkan, ada orang tua penyandang talasemia yang kehilangan dua anaknya berturut-turut dalam kurun waktu 9 hari.
“Pak Ayep punya tiga orang anak, dua di antaranya penyandang talasemia. Keduanya sudah meninggal dalam kurun waktu 9 hari. Sudah dewasa semua, profesinya kepala sekolah dan guru. Meski begitu, Pak Ayep tetap ikut untuk mendampingi para penyandang talasemia sampai saat ini,” tutur Devi.
(Vonny)